PERILAKU MENYIMPANG


Oleh :
Mansur, S.Ag., M.Pd

Abstrak
Manusia sesuai dengan kodratnya, diciptakan untuk saling berhubungan dengan sesamanya. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia tidak mungkin lepas dari keterikatannya dengan orang lain. Permasalahan utama dalam tulisan ini adalah bagaimana teori-teori perilaku menyimpang dan bagaimana bentuk dan jenis perilaku menyimpang serta apa penyebab terjadinya perilaku menyimpang.
Analisis ini menemukan jawaban bahwa, secara sosiologis teori-teori penyimpangan adalah teori pergaulan berbeda, teori labeling, teori fungsi dan teori konflik serta teori Merton. Selain itu tulisan ini juga menyajikan bentuk-bentuk penyimpangan dalam masyarakat. Penyimpangan itu dibagi dua yaitu penyimpangan positif dan penyimpangan negatif. Sementara dari jenisnya, perilaku menyimpang adalah penyalahgunaan narkoba, perkelahian pelajar, hubungan seksual di luar nikah, homoseksual dan alkoholisme serta pembunuhan. Perilaku menyimpang terjadi karena; ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan, proses belajar yang menyimpang, ketegangan antara kebudayaan dan struktur sosial, dan ikatan sosial yang berlain-lainan serta akibat proses sosialisasi nilai-nilai subkebudayaan menyimpang.

Kata kunci: perilaku menyimpang

Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang secara kodrati diciptakan oleh Allah Swt, untuk saling berhubungan dengan sesamanya. Interaksi dan komunikasi yang terbangun dalam sebuah masyarakat, harus sesuai dengan ketentuan umum yang disepakati. Komitmen ini perlu agar dalam kehidupan kemasyarakatan seseorang tidak membangun suatu kondisi yang merugikan kepentingan sosial yang telah mereka retas bersama.
Itikad yang baik untuk selalu berada dalam koridor dan payung kebersamaan dan lepas dari perilaku sosial yang menyimpang akan menjadi spirit yang kuat untuk mewujudkan masyarakat konform. Hal ini dapat terwujud apabila setiap anggota masyarakat saling memahami hak dan kewajiban masing-masing serta memiliki pemahaman yang baik tentang perilaku-perilaku yang dinilai menyimpang oleh masyarakatnya.
Namun suatu hal yang pasti, dalam masyarakat sehari-hari banyak ditemukan perilaku yang tidak sesuai (menyimpang/non konformitas) dengan norma atau tata nilai yang berlaku. Perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan norma atau tata nilai yang berlaku inilah yang kemudian disebut dengan perilaku menyimpang.
Tindakan menyimpang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kehidupan sosial dalam masyarakat. Pada masyarakat tradisional, proses penyesuaian (konformitas) sangat kuat. Misalnya, di desa-desa, tradisi dipelihara dan dipertahankan dengan kuat. Warga desa tidak mempunyai pikiran kecuali menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku, berdasarkan ukuran yang telah disepakati oleh nenek moyangnya dahulu.
Sebaliknya, anggota masyarakat perkotaan yang selalu berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan. Kota merupakan pintu gerbang pengetahuan baru, teknologi modern, berbagai media informasi, seperti tv, video, laser disc, dan sebagainya. Akibatnya, kemungkinan untuk melakukan penyimpangan lebih besar, apalagi karena masing-masing individu kurang saling mengenal dan tidak mau tahu urusan orang lain. Kontrol sosial yang ditemukan seperti di masyarakat desa tidak berlaku lagi di masyarakat perkotaan seperti ini.

Teori-Teori Perilaku Menyimpang
Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan akar-akar perilaku menyimpang.

1. Teori Pergaulan Berbeda
Teori pergaulan berbeda (defferential associationi) diciptakan oleh Edwin H. Sutherland. Menurut teori ini, penyimpangan bersumber dari pergaulan dengan sekelompok orang yang telah menyimpang. Penyimpangan diperoleh melalui proses alih budaya (cultural transmission). Melalui proses ini seseorang mempelajari suatu subkebudayaan menyimpang (deviant subculture). Misalnya, perilaku tuna susila. Peranan sebagai wanita tuna susila dipelajari melalui pergaulan intim dengan yang sudah berpengalaman. Pergaulan yang dianggap mengangkat prestise seseorang itu kemudian diikuti dengan percobaan memerankan peranan penyimpangan tersebut, yaitu peranan sebagai wanita tuna susila.
2. Teori Labeling
Menurut Edwin M. Lemert, seseorang menjadi penyimpang karena proses labeling yang diberikan masyarakat kepadanya. Maksudnya ialah pemberian julukan, cap, etiket, merk (biasanya negatif) kepada seseorang. Mula-mula seseorang melakukan suatu penyimpangan yang oleh Lemert dinamakan penyimpangan primer (primary deviation). Akibatnya, si penyimpang dicap sesuai dengan penyimpangan yang dilakukannya. Misalnya, sebagai pencuri, penipu, pemerkosa, dan sebagainya. Sebagai tanggapan terhadap cap ini, pelaku menyimpang primer kemudian mengidentifikasikan dirinya sebagai penyimpang dan mengulangi lagi penyimpangannya. Perbuatan inilah yang disebut penyimpangan sekunder (secondary deviation). Kalau penyimpangan sekunder itu terus diulangi maka pada akibatnya ia menganut suatu gaya hidup menyimpang, dan penyimpangan itu menjadi suatu kebiasaan.

3. Teori Fungsi
Menurut Durkheim, keseragaman dalam kesadaran moral semua anggota masyarakat tidak dimungkinkan karena setiap individu berbeda satu dari yang lain, misalnya dipengaruhi oleh berbagai faktor keturunan, lingkungan fisik, lingkungan sosial yang berbeda. Dengan demikian, orang yang berwatak penjahat akan selalu ada. Kejahatan pun akan selalu ada. Durkheim bahkan berpandangan bahwa kejahatan itu perlu bagi masyarakat, karena dengan adanya kejahatan, moralitas dan hukum dapat berkembang secara normal. Singkatnya, penyimpangan tetap mempunyai fungsi positif.

4. Teori Konflik
Penjelasan ini kita jumpai dikalangan penganut teori konflik Karl Marx. Para penganut Marx mengemukakan bahwa kejahatan terkait erat dengan perkembangan kapitalisme. Menurut pandangan ini, perilaku menyimpang diciptakan oleh kelompok penguasa dalam masyarakat untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Para penganut teori Marx mengatakan bahwa hukum merupakan cerminan kepentingan kelas yang berkuasa, dan sistem peradilan pidana mencerminkan nilai dan kepentingan mereka. Oleh sebab itu, orang-orang yang dianggap melakukan penyimpangan (membunuh) dan yang terkena hukuman biasanya lebih banyak terdapat di kalangan orang miskin. Banyak pengusaha besar melakukan pelanggaran hukum tetapi tidak diajukan ke pengadilan.

5. Teori Merton
Robert K. Merton mencoba menjelaskan penyimpangan melalui struktur sosial. Menurut Merton, struktur sosial bukan hanya menghasilkan perilaku yang konformis (sesuai dengan norma), tetapi juga perilaku menyimpang (tidak mengindahkan norma). Struktur sosial menghasilkan pelanggaran terhadap aturan sosial. Dalam struktur sosial dijumpai tujuan atau kepentingan. Tujuan tersebut adalah hal-hal yang pantas dan baik. Selain itu diatur juga cara untuk meraih tujuan tersebut. Cara-cara buruk, seperti menipu, tidak dibenarkan dan perilaku menyimpang akan terjadi kalau tidak ada kaitan antara tujuan (cita-cita) yang ditetapkan dan cara untuk mencapainya. Jadi, menurut Merton, struktur sosial menghasilkan tekanan ke arah anomie (memudarnya kaidah) dan perilaku menyimpang.
Merton mendefinisikan lima tipe cara adaptasi terhadap suatu situasi, sebagaimana yang ditulis oleh M. Sitorus, yaitu konformitas, inovasi, ritualisme, pengasingan diri, dan pemberontakan.
a. Konformitas (conformity) merupakan cara yang paling banyak dilakukan. Di sini pelaku mengikuti tujuan dan cara yang ditentukan oleh masyarakat.
b. Inovasi (innovation) terjadi apabila seseorang menerima tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan diidam-idamkan masyarakat, tetapi menolak norma-norma atau kaidah yang berlaku. Perbuatan ini menekankan nilai-nilai sosial budaya yang pada suatu saat berlaku, sedangkan masyarakat merasakan bahwa cara itu kurang memadai untuk mencapai tujuan.
c. Ritualisme (ritualism) terjadi apabila seseorang menerima cara-cara yang diperkenankan secara kultural, namun menolak tujuan-tujuan kebudayaan. Perbuatan ritualisme berpegang teguh pada kaidah-kaidah, tetapi mengorbankan nilai-nilai sosial budaya yang berlaku. Misalnya, seseorang yang ingin mendapatkan pekerjaan dengan upah tinggi di suatu perusahaan harus memenuhi syarat, antara lain memiliki ijazah atau piagam tertentu. Untuk itu, ia berusaha mendapatkan ijazah dan piagam sejenis, tanpa keahlian/keterampilan yang sebenarnya diperlukan.
d. Pengasingan diri (retreatism) timbul apabila seseorang menolak tujuan-tujuan yang disetujui maupun cara-cara pencapaian tujuan itu. Seseorang yang memiliki kepercayaan yang mendalam sulit menyimpang dari norma-norma yang telah mendarah daging, akibatnya timbul konflik. Konflik dapat dihilangkan dengan cara “menjauhkan diri” dari nilai-nilai sosial budaya maupun cara-cara yang berlaku tersebut. Misalnya, seorang ayah yang tidak mau menerima kesulitan dalam keluarga, ia menenangkan diri dengan mabuk-mabukan.
e. Pemberontakan (rebellion) terjadi apabila orang menolak sarana maupun tujuan yang disahkan oleh kebudayaan dan menggantikannya dengan yang lain. Tujuan itu dianggap sebagai penghalang. Jadi, si pemberontak menginginkan agar nilai-nilai sosial budaya maupun kaidah-kaidah yang berlaku harus diubah total dan digantikan dengan hal-hal yang sama sekali baru. Ia tidak lagi mengakui struktur sosial yang ada dan berupaya menciptakan suatu struktur sosial lain.

Bentuk-Bentuk Penyimpangan
Penyimpangan sebenarnya tidak selalu berarti negatif, melainkan adakalanya bersifat positif, atau paling tidak bertujuan positif. Oleh karena itu penyimpangan sosial dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu penyimpangan positif dan penyimpangan negatif.

1. Penyimpangan Positif
Penyimpangan positif terarah pada nilai-nilai sosial yang ideal (didambakan), walaupun cara atau tindakan yang dilakukan tampaknya menyimpang dari norma-norma yang berlaku, padahal sebenarnya tidak. Seseorang dikatakan menyimpang secara positif jika dia berusaha merealisasikan suatu cita-cita, namun masyarakat ada umumnya menolak atau tidak menerima caranya. Akibatnya kadang tidak menyenangkan bagi orang bersangkutan karena yang diterimanya bukan pujian, melainkan celaan.
Adakalanya pula bahwa masyarakat secara diam-diam mengakui bahwa cita-cita yang hendak dicapai di penyeleweng (positif) itu luhur dan patut dikagumi, namun dalam situasi saat itu tindakan tersebut dianggap melampaui batas dan dapat mengganggu tata tertib yang berlaku. Contoh, wadah pergaulan bentuk kontak jodoh mungkin belum bisa diterima oleh setiap lapisan masyarakat walaupun tujuannya positif.

2. Penyimpangan Negatif
Penyimpangan negatif ialah kecenderungan bertindak ke arah nilai-nilai sosial yang dipandang rendah dan akibatnya pun selalu buruk. Jenis tindakan ini dianggap tercela dalam masyarakat. Si pelaku bahkan bisa dikucilkan dari masyarakat. Bobot penyimpangan negatif itu diukur menurut kaidah sosial yang dilanggar. Pelanggaran terhadap kaidah susila dan adat-istiadat biasanya dinilai lebih berat dari pada pelanggaran terhadap tata cara dan sopan santun. Contohnya, pencurian, perampokan, pelacuran, perkosaan, penyimpangan negatif inilah yang dimaksud sebagai perilaku menyimpang.

Macam-Macam Perilaku Menyimpang
Perilaku menyimpang dapat dibedakan menurut sifatnya (primer atau sekunder) dan menurut pelakunya (individu atau kelompok).
1. Penyimpangan Primer atau Sekunder
Kualitas atau sifat perilaku penyimpangan seseorang dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder.
a. Penyimpangan primer adalah penyimpangan yang dilakukan seseorang, yang hanya bersifat temporer dan tidak berulang-ulang. Individu yang melakukan penyimpangan ini masih dapat diterima secara sosial karena hidupnya didominasi oleh pola perilaku menyimpang tersebut. Misalnya, seseorang yang pada suatu meminum minuman keras sampai mabuk, seseorang yang menunda pembayaran pajak, atau pengemudi yang sesekali melanggar peraturan lalu lintas.
b. Penyimpangan sekunder adalah perilaku menyimpang yang nyata dan acapkali terjadi sehingga akibatnyapun cukup parah serta mengganggu orang lain. Misalnya, seorang peminum yang sering mabuk-mabukan baik di rumah, di pesta, maupun di tempat umum; seorang yang sering melakukan perkosaan, pencurian, atau penodongan. Tindakan ini cukup meresahkan masyarakat dan biasanya mereka dicap masyarakat sebagai pemabuk, pemerkosa, pencuri dan penodong. Julukan itu semakin melekat pada diri si pelaku ketika mereka ditangkap polisi dan akhirnya diganjar dengan hukuman.

2. Penyimpangan Kelompok atau Individual
Penyimpangan dapat juga dibedakan menjadi penyimpangan individual dan penyimpangan kelompok.
a. Penyimpangan individual adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang menyimpang dari norma-norma suatu kebudayaan yang telah mapan. Misalnya, seorang (sendirian) yang melakukan pencurian, penodongan, kebrutalan dan lain-lain.
b. Penyimpangan kelompok adalah tindakan sekelompok orang yang beraksi secara kolektif dengan cara yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat. Penyimpangan ini terjadi di dalam subkebudayaan yang menyimpang dalam masyarakat. Individu yang berada dalam situasi ini berperilaku sesuai dengan norma subkebudayaannya, yaitu subkebudayaan yang tidak mau menerima norma-norma masyarakat yang lebih luas. Misalnya geng pejabat atau mafia. Kelompok ini memiliki seperangkat norma dan nilai sendiri. Setiap anggota kelompok berpegang pada aturan-aturan gengnya. Mereka menyesuaikan diri dengan kehendak kelompoknya dan tidak mematuhi aturan dalam masyarakat luas.

Jenis-Jenis Perilaku Menyimpang
Batasan perilaku menyimpang ditentukan oleh norma-norma masyarakat. Banyak ragam perilaku menyimpang yang kita temukan dalam masyarakat, di antaranya:
1. Penyalahgunaan narkotika
Penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan narkotika tanpa ijin dengan tujuan memperoleh kenikmatan. Penggunaan narkotika dapat dianggap sah bila digunakan untuk kepentingan yang positif, misalnya untuk keperluan rumah sakit, misalnya untuk kepentingan pembiusan dan untuk penelitian di laboratorium dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penggunaan jenis obat bius ini sudah diatur dengan norma-norma yang jelas. Namun, apabila penggunaan narkotika tidak sesuai dengan norma-norma tadi dan tujuannya bukan untuk kepentingan yang positif, maka tindakan itu termasuk penyimpangan. Secara fisik, narkotika dapat merusak organ-organ tubuh sehingga tidak berfungsi lagi secara sempurna dan lama keamanan dapat berakibat fatal. Secara mental, narkotika merusak susunan saraf yang mengatur dan mengendalikan daya pikir sehingga orang-orang yang menyalahgunakannya tidak dapat lagi berpikir secara jernih dan rasional. Pikiran yang tidak rasional tidak mampu menilai perbuatan baik atau buruk. Akibatnya, setiap tindakan akan cenderung bertentangan dengan kesusilaan (amoral).
2. Perkelahian pelajar
Jensen membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis, termasuk perkelahian pelajar di dalamnya, sebagaimana yang ditulis oleh Sarlito Wirawan Sarwono. Perkelahian termasuk perilaku penyimpangan karena hal itu bertentangan dengan norma-norma maupun nilai-nilai masyarakat. Masalah ini berkaitan dengan krisis moral, khususnya karena tindakan-tindakan ini berlawanan dengan norma-norma atau kaidah-kaidah masyarakat maupun kaidah agama. Sebenarnya pangkal persoalan ini terletak pada usia remaja yang merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Di satu pihak mereka menganggap diri sudah tergolong dewasa, tetapi di pihak lain masyarakat menganggap mereka masih kanak-kanak. Mereka belum mendapat pengakuan status dari orang lain. Untuk mencapai pengakuan dan menunjukkan keberadaannya, mereka melakukan perilaku yang umumnya negatif.
3. Hubungan seksual di luar nikah
Hubungan seksual di luar nikah (khususnya di Indonesia) tidak dibenarkan, baik oleh norma sosial, moral, maupun agama. Hal ini merupakan tindakan menyimpang dan ditentang oleh masyarakat. Seperti kumpul kebo, pelacuran, dan pemerkosaan.
4. Homoseksualitas
Homoseksualitas adalah kecenderungan seseorang untuk tertarik pada orang yang sejenis sebagai mitra seksual. Pria yang melakukan tindakan demikian disebut homoseks, sedangkan sebutan bagi wanita adalah lesbian. Tindakan ini bertentangan dengan norma sosial dan agama, sehingga dianggap sebagai perilaku menyimpang.
5. Alkoholisme
Minuman yang mengandung alkohol dapat membuat orang menjadi mabuk dan tidak dapat berpikir secara normal. Seorang pemabuk kurang mampu mengendalikan diri, secara fisik, sosial, maupun psikologis. Efek demikian merugikan diri sendiri maupun orang lain, misalnya dengan melakukan keonaran, keributan, pencurian, pemerkosaan, dan sebagainya. Olehnya itu, alkoholis termasuk pengedarnya dianggap melanggar norma-norma dan nilai-nilai masyarakat.
6. Pembunuhan
Pembunuhan merupakan kejahatan berat (tidak berprikemanusiaan). Oleh karena itu, seseorang yang melakukannya, selain akan disingkirkan oleh masyarakat, juga dapat dikenakan hukuman berat (dipenjarakan).

Sebab-Sebab Perilaku Menyimpang
Dari sudut sosiolog, telah banyak teori dikembangkan untuk menerangkan penyebab perilaku menyimpang. Beberapa di antaranya akan dijelaskan berikut:

1. Ketidaksanggupan Menyerap Norma-Norma Kebudayaan
Karena ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan ke dalam kepribadiannya, seorang individu tidak mampu membedakan perilaku yang pantas dan tidak pantas. Ini terjadi karena seseorang menjalani proses sosialisasi tidak sempurna. Hal ini tampak dalam diri seseorang yang berasal dari keluarga berantakan (broken home). Bila kedua orang tuanya tidak bisa mendidik si anak secara sempurna, maka anak tidak mengenal disiplin, sopan santun, ketaatan, dan lain-lain. Bila anak itu terjun ke masyarakat yang lebih luas, maka ia cenderung untuk tidak sanggup menjalankan perannya sesuai dengan perilaku yang pantas menurut ukuran masyarakat.
2. Proses Belajar yang Menyimpang
Mekanisme proses belajar perilaku menyimpang sama halnya dengan proses belajar lainnya. Misalnya, seorang anak yang sering mencuri uang orang tuanya mula-mula mempelajari cara mengambil uang tersebut mulai dari cara yang paling sederhana hingga ke cara yang lebih rumit. Cara ini dipelajarinya melalui media maupun secara langsung dari orang yang berhubungan dengannya. Proses belajar ini terjadi melalui interaksi sosial dengan orang yang berperilaku menyimpang,. Misalnya, kejahatan white collar crime (kejahatan yang melibatkan orang yang berstatus dan tanggung jawab sosial tinggi), seperti pemotongan biaya, penentuan harga, dan penipuan pajak. Pelaku terlebih dahulu mempelajari cara yang tepat melalui hubungan yang berlangsung terus dan lama dengan yang berpengalaman melakukan kejahatan tersebut.

3. Ketegangan antara Kebudayaan dan Struktur Sosial
Setiap masyarakat tidak hanya memiliki tujuan-tujuan yang dianjurkan, tetapi juga cara-cara yang diperkenankan oleh kebudayaan tersebut untuk mencapai tujuan tadi. Apabila seseorang tidak diberi peluang untuk memilih cara-cara ini dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kemungkinan besar akan terjadi perilaku menyimpang. Misalnya, dalam masyarakat yang menganut sistem feudal, para tuan tanah memiliki kekuasaan istimewa atas penyewa atau buruh tani. Tuan tanah dapat melakukan tekanan terhadap pekerjanya, seperti menurunkan upah atau menaikkan sewa tanah. Apabila tekanan ini semakin keras dan berlarut, maka ada kemungkinan si buruh melakukan penyimpangan, seperti menentang dengan kekerasan atau melakukan penipuan dan sebagainya.

4. Ikatan Sosial yang Berlain-Lainan
Setiap orang biasanya berhubungan dengan beberapa kelompok yang berbeda. Hubungan dengan kelompok-kelompok tersebut akan cenderung membuatnya mengidentifikasi diri dengan kelompok yang paling dihargainya. Dalam kaitan ini, individu tersebut akan memperoleh pola-pola sikap dan perilaku kelompoknya. Jika pergaulan itu memiliki pola-pola sikap dan perilaku yang menyimpang, maka kemungkinan besar ia juga akan menunjukkan pola-pola perilaku menyimpang.

5. Akibat Proses Sosialisasi Nilai-Nilai Subkebudayaan Menyimpang
Proses sosialisasi dapat terjadi secara sengaja maupun tidak. Perilaku menyimpang sebagai hasil sosialisasi tidak sengaja, misalnya, anak-anak belajar jahat melalui acara televisi, film, atau membaca buku, atau melihat orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya tidak mematuhi norma-norma, lantas ia pun meniru prilaku tersebut. Sedangkan perilaku menyimpang sebagai hasil sosialisasi yang sengaja terjadi melalui kelompok-kelompok gelap yang tujuannya hanya mengajarkan penyimpangan. Perilaku menyimpang demikian merupakan hasil sosialisasi subkebudayaan menyimpang.

Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa ternyata penyimpangan itu ada yang positif dan ada yang negatif. Perilaku menyimpang negatif dalam tulisan ini seperti: penyalahgunaan narkoba, perkelahian pelajar, hubungan seksual di luar nikah, homoseksual dan alkoholisme serta pembunuhan.
Perilaku menyimpang bisa jadi karena: ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan, proses belajar yang menyimpang, ketegangan antara kebudayaan dan struktur sosial, dan ikatan sosial yang berlain-lainan serta akibat proses sosialisasi nilai-nilai kebudayaan menyimpang.

Leave a comment